Selasa, 30 Oktober 2012

CADAS PANGERAN


K
alau kita melakukan perjalanan antara Kota Bandung dan Sumedang di Jawa Barat, kita akan melalui daerah bernama Cadas Pangeran. Jalan yang melalui daerah itu memiliki dua sisi berbeda. Sisi yang satu terdiri atas tebing perbukitan, sementara sisi lainnya terdiri atas jurang yang dalam. Jalan yang berliku-liku sejauh lebih kurang tiga kilometer itu ternyata dibuat di daerah yang terdiri atas cadas. Mengapa bagian jalan itu dinamai Cadas Pangeran? Kisahnya memang berhubungan dengan tebing dan jurang cadas serta seorang pangeran yang gagah berani.
Pada tahun 1811 -1816, Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda diperintah oleh Marsekal Herman Willem Daendels. Ia terkenal sebagai seorang pemimpin yang keras sehingga sangat ditakuti. Ia dikirim ke Indonesia dalam rangka mempertahankan jajahan Belanda terhadap serangan Inggris. Agar dapat mengirim bala bantuan tentara ke berbagai daerah dengan cepat, Daendels memerintahkan pembuatan jalan dari Anyer di Banten (Jawa Barat) ke Panarukan (Jawa Timur).
Beban pembuatan jalan itu ditakkan di pundak para pemimpin bangsa Indonesia. Para bupati diharuskan menyediakan tenaga kerja dan perbekalan serta peralatan. Mereka terpaksa mengerahkan rakyat untuk melaksanakan pekerjaan berat berat itu dan membekali mereka dengan perlengkapan dan peralatan seadanya. Dapatlah diduga bahwa rakyat sangat menderita, lebih-lebih rakyat Sumedang yang harus membuat jalan melalui bukit-bukit cadas. Karena beratnya pekerjaan, banyak di antara mereka yang sakit dan bahkan meninggal.
Penderitaan mereka itu benar-benar memasygulkan Pangeran Kusumahdinata, bupati Sumedang ketika itu. Tak habis-habisnya beliau memikirkan cara yang mungkin dilakukan untuk meringankan penderitaan mereka. Akan tetapi, cara itu tidak beliau temukan. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan kerja mereka. Beliau memerintahkan agar rakyat berhenti membuat jalan itu.
Perintah beliau itu benar-benar melegakan hati rakyat, tetapi sekaligus menimbulkan kegemparan di kalangan bangsawan. Tindakan Pangeran Kusumahdinata sangat membahayakan, apalagi orang tahu bahwa Daendels terkenal sebagai seorang pemimpin yang keras. Tidaklah sia-sia kalau ia digelari dengan nama Mas Galak. Apakah yang akan terjadi kalau pada suatu ketika Daendels datang untuk memeriksa perkembangan pembuatan jalan itu?
Saat yang dicemaskan itu pun tibalah. Tampaknya Daendels mendapat laporan bahwa rencananya mendapat hambatan di daerah Sumedang. Ia pun segera melakukan peninjauan ke tempat itu. Pangeran Kusumahdinata datang pula ke tempat itu menyambutnya. Ketika mereka bertemu, Pangeran Kusumahdinata menyalaminya dengan tangan kiri sementara tangan kanan beliau memegang hulu keris.
“Apa artinya ini?” tanya Daendels dengan heran dan marah. “Tuan melihat bahwa rakyat saya berhenti bekerja. Pasti Tuan akan menghukum saya. Akan tetapi, sebelum serdadu Tuan menembak saya, saya dapat membunuh Tuan dulu dengan kiris ini, “ujar sang Pangeran. Mendengar itu Daendels tertegun.
“Mengapa Pangeran memerintahkan mereka berhenti bekerja?” tanya Daendels. “Rakyat saya sangat menderita. Mereka harus melaksanakan pekerjaan yang telalu berat. Kami tidak punya peralatan yang memadai. Saya tidak mau mereka mati disini”.
Seperti Pangeran Kusumahdinata sendiri, Daendels pun adalah seorang pribadi yang bersifat ksatria. Ia memahami maksud Pangeran Kusumahdinata dan merasakan keprihatinannya. Sebagai seorang perwira, Daendels sangat menghargai keberanian Pangeran Kusumahdinata. Ia tidak menghukum pangeran itu, tetapi justru memerintahkan anak buahnya untuk mengerahkan pasukan zeni.
Pasukan khusus dengan perlengkapan modern ini akhirnya menyelesaikan pembuatan jalan di daerah sulit itu.
Jalan yang dibuat pasukan zeni Belanda itu sekarang sudah tidak dipergunakan lagi. Jalan yang menghubungkan Bandung dan Sumedang sekarang adalah jalan baru. Walaupun begitu, jalan itu pun tetap disebut Cadas Pangeran, untuk menghormati Pangeran Kusumahdinata yang siap mengorbankan jiwa demi kepentingan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar