Tersebutlah seorang sakti dari desa Kesesi, (sekarang masuk kecamatan Wiradesa kabupaten Pekalongan) yang bernama Ki Ageng Cempaluk. Beliau mempunyai putra bernama Raden Bahu. Sejak kecil Raden Bahu sudah menunjukkan terlihat pintar dan gesit. Berkat gemblengan dari bapaknya, Raden Bahu menjadi seorang pemuda pemberani namun memiliki budi pekerti yang luhur.
Setelah beranjak dewasa dan segala bekal hidup telah dirasa cukup, Raden Bahu diperintahkan oleh bapaknya untuk mengabdi ke Mataram yang kala itu diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613 – 1628 M). Setelah mendapat do’a restu dari orang tuanya, maka berangkatlah Raden Bahu ke Mataram untuk mengabdikan diri sambil mencari pengalaman. Sesampainya disana, ternyata di istana masih ada sidang yang membahas masalah rencana pembukaan hutan Roban untuk dijadikan lahan pertanian guna mencukupi persediaan beras bagi para prajurit Mataram yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia.
Tatkala Raden Bahu menghadap Sultan dan mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke Mataram, sang Sultan langsung menerima karena Sultan raden Bahu menyebutkan bahwa ia adalah anak Ki Ageng Cempaluk yang merupakan teman lama sang Sultan. Namun untuk bisa diterima sebagai abdi di Mataram, Raden Bahu harus mempu menunjukkan kesetian dan pengabdiannya kepada Mataram.
Kemudian Sultan menjelaskan bahwa kesultanan Mataram saat ini akan mengadakan pembukaan hutan Roban guna dijadikan lahan pertanian. Untuk itu Raden Bahu ditunjuk sebagai pemimpinnya dan persyaratan itu diterima oleh Raden bahu.
Setelah mendapat mandat dari Sultan, maka berangkatlah Raden Bahu diiringi oleh para prajurit Mataharam guna melaksanakan tugas. Sesampainya di hutan Roban, maka dimulailah pembukaan hutan Roban oleh para prajurit Mataram yang dipimpin oleh Raden Bahu. Hambatan dan rintangan dalam pelaksanaan tugas tersebut ternyata cukup banyak. Para pekerja penebang hutan banyak yang sakit dan mati karena konon diganggu oleh jin, setan peri prayangan, atau siluman- siluman penjaga hutan Roban, yang dipimpin raja mereka Dadungawuk. Namun berkat kesaktian Bahurekso, raja siluman itu dapat dikalahkan dan berakhirlah gangguan-gangguan tersebut walaupun dengan syarat bahwa para siluman itu harus mendapatkan bagian dari hasil panen tersebut. Demikianlah hutan Roban dapat ditebang seluruhnya. Tugas kini tinggal mengusahakan pengairan atas lahan yang telah dibuka itu.
Tetapi pada pelaksanaan sisa pekerjaan inipun tidak luput dari gangguan maupun rintangan. Gangguan utama adalah dari raja siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Bendungan yang telah selesai dibuat untuk menaikkan air sungai dari Lojahan yang sekarang bernama sungai Kramat itu selalu jebol karena dirusak oleh anak buah raja Uling. Mengetahui hal itu Bahurekso langsung turun tangan, Semua anak buah raja Uling yang bermarkas disebuah Kedung sungai itu diserangnya. Korban berjatuhan di pihak Uling, Merahnya semburan-semburan darah membuat air kedung itu menjadi merah kehitaman “ gowok “ , maka kedung tersebut dinamakan Kedung Sigowok.
Mendengar anak buahnya banyak yang binasa, maka Raja Uling marah dan segera turun tangan untuk melawan Raden Bahu. Dengan pedang Swedang terhunus ia menyerang Raden Bahu. Karena kesaktian pedang Swedang tersebut, maka Raden Bahu dapat dikalahkan. Maka datanglah bapaknya, Ki Ageng Cempaluk. Atas nasehat bapaknya, Raden Bahu disuruh masuk kedalam Keputren kerajaan Uling untuk merayu adik sang raja yang bernama Dribusowati seorang putri siluman yang cantik. Rupanya rayuan Raden Bahu berhasil. Dribusawati mau mencurikan pedang pusaka milik kakaknya itu dan diserahkan kepadanya dengan syarat Raden Bahu mau menikahinya. Kelak hasil dari perkawinan Raden Bahu dengan Dribusawati menghasilkan seorang putra yang bernama Raden Banteng. Setelah pedang Swedang jatuh ditanganya, Raden Bahu menyerang Kolo Dribikso kembali dan dengan mudah raja Uling tersebut dapat dikalahkannya. Dengan demikian, maka gangguan terhadap pembangunan bendungan sudah tidak pernah terjadi lagi.
Namun setelah raja Uling bertekuk lutut bahkan bersedia untuk membantu pengerjaan bendungan, yaitu dengan mengerahkan beribu-ribu anak buahnya, ternyata timbul masalah baru. Air bendungan itu tidak selalu lancar alirannya. Kadang-kadang besar, kadang-kadang kecil, bahkan tidak mengalir sama sekali. Setelah diteliti ternyata ada batang kayu (watang) besar yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh puluh orang disuruh mengangkat memindah watang tersebut, tetapi sama sekali tidak berhasil. Akhirnya Bahurekso turun tangan sendiri. Setelah mengheningkan cipta, memusatkan kekuatan dan kesaktiannya, watang besar itu dapat dengan mudah diangkat dan dengan sekali embat patahlah watang itu. Demikianlah peristiwa ngembat watang itu terjadilah nama Batang dari kata ngem Bat wa Tang (Batang). Orang Batang sendiri sesuai dialeknya menyebut "Mbatang". Maka sejak saat itu daerah tersebut terkenal dengan nama Batang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar