Pada abad 19 waktu Indonesia masih dijajah oleh
Belanda, rakyat Indonesia sangatlah menderita. Kehidupan rakyat sangatlah
tertindas oleh ulah penjajah. Kebodohan dan kemiskinan dirasakan betul oleh
rakyat kita. Semua hasil pertanian dikuras oleh penjajah dan dibawa ke negeri
kincir angin, bangsa Indonesia diperas
tenaganya untuk kepentingan penjajah.
Bekerja seharian diberi upah sangatlah tidak layak, makan sangat kurang dan tidak bergizi. Melihat keadaan seperti itu ada salah seorang Pangeran yang ingin membebaskan negeri ini dari penindasan Belanda. Pangeran tersebut adalah Pangeran Diponegoro dari Mataram (Yogyakarta).
Bekerja seharian diberi upah sangatlah tidak layak, makan sangat kurang dan tidak bergizi. Melihat keadaan seperti itu ada salah seorang Pangeran yang ingin membebaskan negeri ini dari penindasan Belanda. Pangeran tersebut adalah Pangeran Diponegoro dari Mataram (Yogyakarta).
Tersebutlah Pangeran Diponegoro
beserta pasukan atau prajuritnya mulai menyusun siasat untuk berperang melawan
penjajah. Diantara prajurit Pangeran Diponegoro terdapat seorang abdi/prajurit
yang bernama Ki Buyut Proyononggo. Ki Buyut Proyononggo ini yang nantinya
menjadi cikal bakal yang menamai Desa Semampir Kecamatan Reban. Setelah siasat
disusun dengan rapi dan disinyalir tidak ada anggota prajurit yang menjadi kaki
tangan Belanda, maka dimulailah penyerangan terhadap penjajah. Pada waktu itu
markasnya di Goa Selarong yang terletak jauh dari kota dan tidak mudah diketahui
musuh.
Penyerangan pertama berhasil dan
dilanjutkan dengan penyerangan berikutnya, yang membuat kalang kabut pihak
Belanda. Pada saat perang Pangeran Diponegoro berkecamuk, ratusan korban jiwa
berjatuhan, baik dari pihak rakyat maupun tentara Belanda. Tetesan darah para
pahlawan yang gugur bagaikan air bah yang membasahi bumi pertiwi. Suara meriam
dan tembakan dari pihak musuh memecah kesunyian malam. Sedangkan pasukan kita
hanya bersenjatakan seadanya, badik, keris, dan bambu runcing tetapi tidak
mengurangi semangat juang pasukan kita
untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perang berlangsung antara tahun
1825 – 1830, selama hampir lima tahun Pangeran Diponegoro beserta anak buahnya
melawan penjajah. Keluar masuk hutan, naik gunung, turun gunung untuk
bersembunyi dan menyusun siasat perang untuk penyerangan selanjutnya. Pangeran
Diponegoro beserta pasukan mendapat kemenangan yang gemilang, membuat pihak
Belanda kalang kabut menghadapi Pasukan Diponegoro. Sampai akhirnya pihak
Belanda berniat licik untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Akhirnya niat
Belanda tercapai menangkap Pangeran Diponegoro dengan jalan pura-pura diajak
berdamai. Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makasar Sulawesi.
Setelah Pangeran Diponegoro diasingkan, para prajurit tersebar menyelamatkan
diri ke daerah Kedu, Yogyakarta dan sekitarnya.
Dari sekian banyak prajurit
Pangeran Diponegoro seorang diantaranya adalah Ki Buyut Proyononggo lari ke
daerah Kedu untuk menyelamatkan diri. Beliau dikenal memiliki ilmu yang tinggi
dan sering melakukan tirakat, puasa Senin-Kamis, puasa mutih (tidak makan
garam). Untuk menghindari pengejaran Belanda, Buyut Proyononggo menyamar
membaur dengan masyarakat. Bila malam tiba Buyut Proyononggo tidak tidur di
dalam rumah, tetapi tidur di atas pohon besar dan tinggi agar tidak kelihatan
oleh musuh. Dalam pengembaraannya Buyut Proyononggo berjalan kaki keluar masuk
hutan, menyeberangi sungai, menuruni tebing dan mendaki gunung. Jalan yang
dilalui berupa hutan belantara yang masih lebat. Bisa dibayangkan betapa berat perjalanan yang dilakukan oleh
Buyut Proyononggo dahulu kala. Hanya ada jalan setapak yang masih berupa tanah
dengan bebatuan yang licin, binatang buas siap menghadang setiap saat mengintai
kelengahan si pejalan kaki. Tetapi Buyut Proyononggo tidak mengenal kata
menyerah atau putus asa. Dalam perjalanannya Ki Buyut selalu diikuti mata-mata
Belanda yang mencari tahu keberadaan Ki Buyut. Agar tidak diketahui mata-mata
Belanda, Ki Buyut mempunyai siasat kalau malam tiba, Ki Buyut tidur di dahan
pohon besar, tubuhnya diletakkan sedangkan tangan dan kakinya menggantung
layaknya seperti kalong alias semampir di dahan. Itu dilakukan setiap malam
tiba. Dengan siasat ini Ki Buyut Proyononggo tidak hanya berhasil mengelabuhi
mata-mata Belanda tetapi juga menghindari serangan binatang buas.
Pada suatu hari perjalanan Ki
Buyut Proyononggo sampai di suatu tempat yang masih sepi dan hanya ada beberapa
rumah penduduk, desa itu masih belum mempunyai nama. Ki Buyut Proyononggo
beristirahat untuk beberapa saat di tempat itu dan berbaur dengan penduduk
dusun itu, tetapi tidurnya tetap di atas pohon alias semampir. Karena dirasa
cocok dengan penduduk dan yakin tidak ada mata-mata yang mengikutinya, akhirnya
Ki Buyut Proyononggo memutuskan untuk menetap di dusun itu. Sebagai penduduk
baru Ki Buyut Proyononggo selalu menolong orang-orang yang membutuhkan. Ki
Buyut juga mengajar mengaji kepada penduduk sekitar, juga mengobati orang yang
sakit. Hampir setiap hari ada saja orang yang meminta bantuan dengan senang hati
Ki Buyut Proyononggo membantu.
Karena seringnya bergaul dengan
penduduk sekitar, Buyut Proyononggo semakin dekat dengan penduduk bahkan
seperti keluarga sendiri. Demikian pula warga sekitar sangat terbantu dengan
kehadiran Ki Buyut Proyononggo seperti pemimpin bagi mereka yang selalu
mengayomi dan menolong warga sekitar.
Untuk menghilangkan kesepian
karena hidup seorang diri tanpa saudara, akhirnya Ki Buyut menikahi gadis desa
itu dan mempunyai keturunan yang sampai saat ini keturunan Ki Buyut Proyononggo
sudah keturunan yang keenam. Sesudah usianya sudah tua Ki Buyut melakukan
semedi dengan cara semampir di dahan pohon selama 40 hari. Di dalam semedi itu
tak jarang Ki Buyut Proyononggo mendapat gangguan dari makhluk halus atau
sejenisnya. Sampai akhirnya Ki Buyut dapat menyelesaikan semedinya sampai 40
hari.
Karena bertapa Ki Buyut Proyononggo dengan cara semampir di dahan pohon,
maka sejak saat itu desa itu diberi nama “SEMAMPIR”. Sampai akhirnya Ki Buyut
Proyononggo meninggal di Desa Semampir dan dimakamkan di desa itu pula. Sampai
sekarang makamnya dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Semampir adalah sebuah
desa yang terletak di sebelah utara desa Reban kurang lebih jaraknya 1,5 Km.
Demikian kisah terjadinya Desa Semampir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar